http://blogstatic.freemake.com/
Ilustrasi
Empat tahun lalu, Susan, seorang ibu dengan anak lelaki berusia 6 tahun, menyesali keputusan membelikan anaknya tersebut--John--sebuah iPad ketika si bocah masih duduk di bangku kelas 1 SD.
Dia layak menyesal, sebab setelah memberikan gadget tersebut, John sama sekali kehilangan ketertarikan terhadap baseball dan buku. Padahal sebelum memiliki iPad, dua aktivitas itu adalah keseharian John.
Penyesalannya semakin memuncak ketika suatu tengah malam, ketika sedang memeriksa apakah putranya itu sudah tertidur, dia justru mendapati buah hatinya itu sedang memelototi iPad dan memainkan permainan Minecraft.
Ketika dia mencoba menegur bahkan menggoncang-goncangkan badan putranya, bocah tersebut sama sekali tidak mau melepaskan pandangan tangannya dari iPad.
Keputusan Susan membelikan iPad untuk putranya itu sebenarnya dilatari oleh keinginan yang baik. Saat pertama mendaftar sekolah, guru setempat merekomendasikan untuk memperkenalkan teknologi sejak dini kepada anak-anak.
Guru tersebut juga merekomendasikan sejumlah permainan edukasional, termasuk Minecraft yang dianggap mirip Lego namun dalam wujud elektronik.
Setelah memberikan iPad kepada putranya, Susan merasa puas karena John menunjukkan ketertarikan pada permainan-permainan yang dianggapnya bisa memicu daya kreativitas.
Dr Peter Whybrow, direktur Neuroscience di UCLA (University of California, Los Angeles), menyatakan bahwa apa yang terjadi pada putra Susan adalah salah satu bentuk kecanduan digital. Sementara gadget-gadget dan aneka permainan digital lainnya, disebutnya sebagai digital heroin.
Sebuah penelitian yang melibatkan pencitraan otak, memperlihatkan bahwa kecanduan digital ini menyerang bagian frontal cortex pada otak. Frontal cortex sendiri adalah salah satu bagian pada otak yang mempengaruhi eskpresi, emosi, dan kemampuan interaksi sosial anak. Gangguan pada bagian ini, umumnya memicu terjadinya autisme.
Sadar akan resiko itu pulalah yang tampaknya menyebabkan tokoh-tokoh seperti Steve Jobs (pendiri Apple), Sergey Brin dan Larry Page (duo pendiri Google), Jeff Bezos (pendiri Amazon), dan Jimmy Wales (pendiri Wikipedia), memilih sekolah-sekolah yang tidak berorientasi pada teknologi untuk anak-anak mereka. Para tokoh teknologi itu tetap ingin anak-anak mereka hidup normal.
Lantas apa yang mesti dilakukan?
Sebagaimana dikutip dari marketwatch, Dr. Nicholas Kardaras, Direktur Eksekutif pusat rehabilitasi The Dunes East Hampton menyarankan, orangtua sebaiknya menghindarkan anaknya yang masih berusia antara 4 hingga 8 tahun dari gadget.
Orangtua sebaiknya mengajak anaknya bermain lego ketimbang minecraft, mengajak membaca buku ketimbang iPad, atau meluangkan waktu demi mengajak anak berolahraga atau jelajah alam ketimbang menonton televisi. Apabila perlu, mintalah sekolah untuk tidak memberikan anak tablet atau laptop hingga usia mereka 10 tahun. Intinya, hindarkan anak-anak di usia itu dari layar digital.
Kedua, ajaklah anak berbicara secara sehat mengenai alasan mengapa penggunaan mereka terhadap gadget tersebut harus dibatasi. Biarkan anak tahu bahwa terlalu sering memainkan gadget akan membuat mereka kehilangan kebahagiaan dari bermain sepakbola, dari membaca buku, dan aktivitas-aktivitas fisik lain yang dilakukan anak-anak pada umumnya.
Lalu, biasakan pula untuk selalu makan bersama tanpa ada perangkat elektronik di atas meja makan. Hal yang sama sudah dilakukan oleh Steve Jobs saat makan malam bersama anak-anaknya. Sebab apabila orangtua masih sibuk dengan perangkat elektronikya ketika makan bersama, anak-anak pun akan berpikir bahwa mereka juga bisa melakukan hal yang sama.
Susan, yang tak lain adalah salah satu klien Nicholas Kardaras, menerapkan strategi-strategi tersebut. Perempuan tersebut menyingkirkan sepenuhnya tablet dari kehidupan John.
Meski sulit di awal, namun hasilnya setelah empat tahun cukup memuaskan. John mulai bisa kembali menggunakan komputer secara sehat, yakni dengan tidak melupakan kehidupan kesehariannya. Bocah tersebut kembali terlibat dalam tim bisbol dan bisa bersosial secara baik dengan teman-temannya di sekolah.
Namun ini bukan berarti Susan seratus persen mencegah anaknya menggunakan gadget. Dia memberikan kepercayaan kepada anaknya yang mulai beranjak dewasa, untuk menggunakan gadget secara bertanggung jawab. Dengan demikian, John tidak akan tumbuh sebagai anak yang gagap teknologi.
sumber: Marketwatch